Lebih dari sepuluh tahun Luna Maya hidup dalam prasangka. Kemanapun kakinya melangkah, isi kepala orang mudah ditebak dan tak lebih dari tiga kata: Ariel, Video, dan Moral.
Hal ini sempat membuat Luna mengalami depresi berat. Apa benar dunia sudah benar-benar memusuhinya? Benarkah lumpur noda telah begitu memenuhi tubuhnya? Tak ada jawaban, hanya tatapan mata meghardik.
Ketika dia bertemu Reino Barack sekitar tahun 2013, Luna tak lagi memasang harapan apapun. Bahagia pernikahan adalah kemewahan (dunia) terakhir yang bisa dia harapkan. Menggenggam awan di Puncak Mahameru, indah tapi sekejap sirna.
“Saya sudah berada di satu titik, andai pernikahan itu tidak terjadi di hidup saya, it’s OK," ucap Luna
Luna paham, biar seribu kali dia berendam di sungai gangga, biar seribu kali membenamkan diri di pantai selatan, biar telah jutaan kali tersungkur mengutuki masa lalu dalam hening menghadap yang Ilahi; pandangan itu tak kunjung luntur.
"Saya sadar betul kondisi saya bukan seperti perempuan pada umumnya, apalagi kita hidup di masyarakat yang menjunjung budaya Timur,” terang Luna dalam kepasrahan
Kendatipun hatinya dan Reino telah berpaut, tapi ada restu orang tua (bibit, bebet, bobot) dan pandangan masyarakat yang mesti dia taklukkan. Sampai di sini Luna berhenti menyiksa diri dengan angan dan hasrat yang dapat membenamkannya dalam kekecewaan.
“Jadi kalau pernikahan tidak terjadi dalam kehidupan saya, rasa syukur saya kepada Tuhan tidak akan berkurang,” tutup Luna dalam nada yang lebih tegar.