Kerusuhan kembali terjadi di persepakbolaan tanah air. Hanya saja kali ini bukan terjadi di dalam stadion melainkan di jalan raya di Jalan Raya Bogor, Cijantung dan sekitarnya pada hari Sabtu (4/8/2018). Juga bukan bentrokan antar suporter, namun terjadi usai massa penyokong persitara turun dari mobil dan berlarian menjarah dagangan milik warga.
Dilansir dari pojoksatu.id (5/8/2018) warga yang kesal pun melakukan aksi balasan hingga bentrokan tak terelakkan. Buntut dari kejadian tersebut dua nyawa suporter pun melayang usai babak belur dihakimi massa. Ngenes dan miris, karena pemicu tawuran ini hanyalah sekelompok remaja.
Ya, kebanyakan dari pendukung adalah anak berusia belasan. Mereka tak memiliki kedewasaan sikap karena nyata-nyata belum dewasa. Merasa kuat karena bertindak bersama-sama, akhirnya bocah-bocah itu justru kena batunya.
Aksi anarkisme di dunia si kulit bundar memang bukan barang baru dan selalu saja menjadi dosa yang kembali terulang. Tak adanya ketegasan federasi dalam memberikan sanksi ketika terjadi kericuhan menjadikan situasi seperti ini seakan menjadi budaya yang sudah mendarah daging. Ini adalah dampak ketika stadion yang penuh jauh lebih diutamakan daripada proses mendewasakan itu sendiri.
Industri sepakbola itu sepatutnya bukan industri murahan. Berlomba-lomba memurahkan harga tiket agar stadion tampak penuh meski pada kenyataannya di banyak klub semenjana mayoritas diisi oleh anak-anak ABG yang tengah mencari jati diri. Secara berkelompok menimbun kekuatan bersama yang sayangnya justru mengarah kepada tindakan-tindakan yang merusak. Sampai kapan kiranya hal seperti ini akan terus terjadi?